DPRD Sebut Dinkes Kota Mojokerto Sembunyikan Data DB Demi Penghargaan


Mojokerto, sadhapnews.com - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Mojokerto disinyalir sengaja menyembunyikan data penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) sepanjang Januari 2019. Motifnya disebut-sebut untuk mempertahankan penghargaan dari Kemenkes RI.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Junaedi Malik. Menurut dia, Dinkes Kota Mojokerto menyembunyikan data penderita DBD untuk mempertahankan penghargaan dari Kemenkes.

Pada 28 November 2017, Kota Mojokerto meraih penghargaan Kota Sehat Swasti Saba Padapa dari Kemenkes. Penghargaan itu diberikan langsung Menkes Nila Farid Moeloek kepada Wali Kota sebelumnya, Mas'ud Yunus di Gedung Sasana Bhakti Praja, Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat.

Kota Onde-onde ini dinobatkan sebagai Kota Sehat peringkat ke 2 Jatim dan peringkat 5 nasional. Selain itu, Mojokerto juga menjadi Kota percontohan tingkat nasional dalam bidang lingkungan sehat melalui program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan Jumat Berseri.

"Pemerintah Kota Mojokerto seolah minta pengakuan dari Pemerintah Pusat, tapi mengabaikan kondisi di masyarakat. Soal jumlah penderita DBD sampai 50 lebih masa media yang tahu sendiri, Dinkes seolah-olah kaget," kata Junaedi kepada wartawan di kantornya, Jalan Gajah Mada, Kota Mojokerto, Selasa (5/1/2019).

Junaedi pun mendesak Dinkes Kota Mojokerto supaya transparan terhadap data penderita DBD. Pihaknya khawatir jika data terus ditutupi bakal memicu keresahan di masyarakat.
"Lebih baik terbuka demi masyarakat, jangan demi penghargaan. Kalau mengabaikan persoalan demi penghargaan, jangan masyarakat yang dipakai uji coba. Jangan sampai terjadi persoalan di masyarakat di kemudian hari gara-gara persoalan ini," tegasnya.

Tak hanya itu, lanjut Junaedi, warga Kota Mojokerto kini banyak mengeluhkan sulitnya mendapatkan fogging dari Dinkes. Karena fogging baru dilakukan jika di sebuah lingkungan terdapat minimal 5 penderita DBD.

Menurut dia, Pemkot Mojokerto justru menilai fogging tak efektif karena membuat nyamuk kebal terhadap insektisida. Sehingga fogging hampir ditiadakan oleh pemkot di tengah maraknya kasus DBD saat ini. Ironisnya, kebijakan itu diambil tanpa ada hasil penelitian yang dijadikan sebagai dasar.

"Fogging malah dituding sebagai penyebab nyamuk lebih banyak berkembangbiak, fogging membuat nyamuk kebal. Kalau sudah ada penelitian tak masalah. Karena secara nasional fogging masih jalan, ini kebijakan yang pincang," terangnya.

Junaedi juga mendesak Dinkes Kota Mojokerto agar tak mempersulit permintaan fogging dari masyarakat. "Begitu ada kasus DBD lebih dari 1,2, 3 orang sudah fogging, jangan dipersulit lagi," jelasnya.
Dikonfirmasi terkait motif mempertahankan penghargaan di balik penyembunyian data DBD, Kepala Dinkes Kota Mojokerto Christiana Indah Wahyu menampiknya. Dia berdalih, banyaknya penderita DBD akibat dokter salah melakukan diagnosa.

Menurut dia, PSN memang menjadi program andalan Pemkot Mojokerto untuk menanggulangi DBD saat ini. Anggaran Rp 1,4 miliar pun digelontorkan setiap tahunnya untuk program PSN. Dana itu sebagai honor 1.600 kader PSN se Kota Mojokerto.

"Terserah sampean mau ngomong opo, saya sudah memberikan bukti ini. Yang penting saya bekerja di lapangan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait kebersihan lingkungan. Anggaran besar itu untuk membayar kader," ujarnya.

Indah juga menuturkan, fogging merupakan upaya yang tidak efektif untuk menekan kasus DBD. Oleh sebab itu, pihaknya baru melakukan fogging jika di sebuah lingkungan terdapat 5 penderita DBD.

"Pengalaman kami fogging massal tahun 2005, jumlah kasus DBD malah naik, yang mati malah dua orang," kilahnya.

Hasil penelusuran detikcom di 5 rumah sakit, jumlah warga Kota Mojokerto yang terkena DBD sepanjang Januari 2019 mencapai 64 orang. Terdiri dari 20 orang di RSI Sakinah, 17 orang di RS Gatoel, 12 orang di RS Kamar Medika, 5 orang di RSUD Dr Wahidin Sudiro Husodo, serta 10 orang di RSI Hasanah. Data itu belum termasuk pasien di sejumlah rumah sakit dan puskesmas rawat inap yang belum sempat dikunjungi detikcom.

Indikasi penyembunyian data muncul berdasarkan pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kota Mojokerto Christiana Indah Wahyu. Pasalnya, saat diwawancarai wartawan, dia menyebutkan jumlah warga Kota Mojokerto yang terkena DBD sepanjang Januari 2019 hanya 7 orang. Padahal data di 5 rumah sakit saja menunjukkan 64 warga Kota Onde-onde positif terkena DBD.

"Hanya 7 penderita DBD," kata Indah usai sidak pasien DBD bersama Wali Kota Mojokerto di RSUD Dr Wahidin Sudiro Husodo, Kamis (31/1).

Indah berdalih, banyaknya warga Kota Mojokerto dinyatakan terkena DBD karena dokter salah melakukan diagnosa. Menurut dia, seharusnya pasien dinyatakan kena DBD jika kadar trombosit di bawah 100 ribu per milimeter kubik darah, serta kadar hematokrit naik minimal 20 persen. Indah menggunakan buku Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia yang diterbitkan Kementerian Kesehatan tahun 2015 sebagai acuan untuk mendiagnosa pasien DBD. (Tris)
Next Post Previous Post